Sabtu, 06 September 2008

MAKALAH

Peranan Mamanda terhadap Eksistensi Bahasa Banjar

(Studi Kasus Pemakaian Bahasa Gaul dan Kata-Kata Bahasa Inggris di Kalangan Masyarakat Banjar Pesisir dan Pedesaan)


Mahmud Jauhari Ali

Abstrak

Mamanda sebagai salah satu teater tradisional daerah Banjar dewasa ini cukup jarang dipentaskan di depan masyarakat Banjar. Sementara itu masyarakat Banjar terlalu sering menikmati tontonan sinetron dan tayangan lainnya di televisi, serta tulisan-tulisan di media lain yang pada umumnya menggunakan bahasa Gaul dan kata-kata bahasa Inggris. Hal ini menyebabkan masyarakat Banjar terutama generasi muda di Kalimantan Selatan menirukan pemakaian bahasa Gaul dan menggunakan beberapa kata dalam bahasa Inggris tersebut dalam kehidupan sosial mereka. Mereka menganggap bahasa Gaul dan bahasa Inggris lebih modern daripada bahasa Banjar. Dengan demikian, terjadi perubahan di masyarakat berkenaan dengan pemakaian bahasa. Untuk membendung semakin maraknya pemakaian bahasa gaul dan penggunaan beberapa kata bahasa Inggris di masyarakat oleh generasi muda orang Banjar, perlu adanya usaha yang serius dari berbagai pihak. Kita harus bijak menyikapi permasalahan ini. Tayangan tentu harus dilawan dengan tayangan pula. Jika ada tayangan sinetron dan tayangan lainnya yang menggunakan bahasa Gaul dan kata-kata bahasa Inggris di televisi, juga harus ada tontonan berbahasa Banjar ditayangkan secara rutin setiap hari atau setiap minggu di televisi lokal Kalimantan Selatan, yakni TVRI Kalsel, TV Banjar (Banjar TV), dan TV Duta (Duta TV). Salah satu acara berbahasa Banjar yang dapat ditayangkan di televisi-televisi lokal tersebut adalah mamanda. Dengan demikian, masyarakat Banjar termasuk para generasi mudanya dapat terdorong menggunakan bahasa Banjar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Makalah ini diharapkan dapat menjadi sebuah pencerahan bagi kita terhadap perubahan di masyarakat Banjar berkenaan dengan pemakaian bahasa untuk menuju tetap eksisnya bahasa Banjar di Kalimantan Selatan, baik di daerah pesisir maupun di pedesaan sebagaimana mestinnya.

Kata kunci: mamanda, sinetron, masayarakat Banjar, bahasa Gaul, bahasa Inggris, dan bahasa Banjar.

1. Pengantar

Secara administratif, wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Banjarmasin sebagai ibukotanya, terletak di bagian tenggara pulau Kalimantan dengan batas-batas, yakni sebelah utara dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Selat Makasar, dan sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah (Sam’ani dkk, 2005:7). Provinsi ini mayoritas didiami oleh masyarakat dari suku Banjar. Hal inilah yang menyebabkan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. Memang akan kita temukan pemakaian bahasa selain bahasa Banjar di Provinsi Kalaimantan Selatan, seperti bahasa Bakumpai, bahasa Dusun Deyah, bahasa Ma’anyan, dan bahasa Dayak Meratus. Akan tetapi, pemakaian bahasa-bahasa selain bahasa Banjar tersebut dipakai dalam kelompok masing-masing suku yang bersangkutan.

Sebagai contoh, bahasa Bakumpai dipakai oleh masyarakat suku Bakumpai atau bahasa Ma’anyan dipakai dalam masyarakat suku Ma’anyan. Berbeda dengan bahasa-bahasa tersebut, bahasa Banjar dapat kita katakan sebagai bahasa perantara (lingua pranca) di Provinsi Kalimantan Selatan. Semua suku yang ada di provinsi ini dapat menggunakan bahasa Banjar. Dengan demikian, masyarakat dari suku Banjar tidak perlu harus menguasai bahasa dari suku lain di provinsi ini jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat dari suku lain tersebut. Misalnya, anggota masyarakat dari suku Banjar tidak perlu harus menguasai bahasa Bakumpai jika ingin berkomunikasi dengan anggota dari masyarakat suku Bakumpai. Anggota dari masyarakat suku Bakumpai akan menggunaan bahasa Banjar jika mereka berkomunikasi dengan anggota dari masyarakat suku Banjar.

Masyarakat Banjar memiliki khazanah sastra yang sudah hidup dan berkembang sejak dahulu. Karena bahasa perantara (lingua pranca) yang dipakai di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar, bahasa yang digunakan dalam sastra lisan di provinsi ini juga menggunakan bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa wujud cipta sastra terdiri atas tiga bentuk, yakni puisi, prosa fiksi, dan drama. Begitu pula dengan wujud sastra daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, terdiri atas tiga bentuk tersebut. Bentuk puisi, di Provinsi Kalimantan Selatan berupa mantra. Mantra-mantra ini juga terbagi dalam empat jenis, yakni mantra Banjar jenis tatamba, mantra Banjar jenis tatulak, mantra Banjar jenis pinunduk, dan mantra Banjar jenis pitua. Bentuk prosa fiksi, di Provinsi Kalimantan Selatan dapat berupa mite, legenda, dan dongeng. Bentuk prosa fiksi yang paling terkenal di Provinsi Kalimantan Selatan adalah Hikayat Lambung Mangkurat. Salah satu jenis dari bentuk drama di Provinsi Kalimatan Selatan yang sampai hari ini masih dipentaskan, walaupun tingkat frekuensi pementasannya mulai berkurang adalah mamanda.

Mamanda merupakan salah satu teater tradisional di Indonesia yang berasal dari daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teater tradisional ini dapat kita sebut sebagai salah satu sastra daerah yang setingkat dengan sastra daerah sejenis di daerah lainnya seperti lenong di daerah Jakarta dan ketoprak di daerah Jawa. Bahasa yang digunakan para tokoh dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar yang hidup dan berkembang di Provinsi Kalimantan Selatan, baik di daerah pesisir (Kuala) maupun di daeah pedesaan (Pahuluan). Mamanda sebenarnya dapat dikemas sedemikian rupa dengan masih mempertahankan bahasa Banjar agar tingkat frekuensi pementasannya meningkat.

Tujuan dari pementasan mamanda adalah untuk mempertahankan eksistensi pemakaian bahasa Banjar yang dewasa ini mulai mengalami pergeseran. Pergesaran yang saya maksud adalah bahasa Banjar digeser pemakaiannya dengan pemakaian bahasa Gaul dan bahasa Inggris di masayarakt Banjar, baik di daerah pesisir maupun di daerah pedesaan Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan meningkatnya pementasan mamanda dalam bentuk modern diharapkan masyarakat akan mengurangi aktivitas menonton sinetron yang menggunakan bahasa Gaul. Sinetron sebenarnya merupakan salah satu penyebab timbulnya kebanggaan masyarakat Banjar memakai bahasa Gaul dan bahasa Inggris di Kalimantan Selatan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa bahasa Banjar adalah salah satu bahasa daerah yang harus kita lestarikan eksistensinya. Bahkan, dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”, tercantum dengan tegas, “Di daerah-daerah yang memunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara” dan “Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”

2. Bahasa Banjar di Kalimantan Selatan

Bahasa Banjar merupakan salah satu bahasa dari 726 bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Banjar hidup dan berkembang di dalam masyarakat etnis Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan. Bahasa Banjar, sebagaimana bahasa pada umumnya merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi dipakai sebagai alat komunikasi di kalangan masyarakat etnis Banjar. Dengan kata lain, bahasa Banjar memiliki ciri-ciri kesemestaan yang universal. Bahasa Banjar memiliki aturan atau sistem dalam setiap tataran linguistik seperti dalam tataran sintaksis, kalimat Ali handak manukar rumah hanyar. (‘Ali ingin membeli rumah baru’), tidak diujarkan Handak rumah manukar Ali. Selain beraturan, bahasa Banjar merupakan lambang bunyi yang arbitrer dan konvensional, seperti kata ading (‘adik’) melambangkan konsep ‘orang yang lebih muda’. Kata ading tersebut diciptakan secara mana suka atau arbitrer dan disepakati oleh semua masyarakat etnis Banjar.

Berdasarkan ciri-ciri itu, bahasa Banjar melambangkan semua konsep dalam kompleksitas kehidupan masyarakat etnis Banjar. Konsep budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat etnis Banjar di lambangkan melalui bahasa Banjar. Bahkan dari zaman dahulu budaya Banjar diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat etnis Banjar melalui bahasa Banjar kepada generasi penerus hingga sekarang. Sistem sapaan dalam budaya masyarakat Banjar misalnya, dilambangkan dengan bahasa Banjar. Bahasa Banjar sangat berperan penting dalam proses penciptaan dan pewarisan budaya Banjar hingga saat ini. Bahasa Banjar itu sendiri menjadi wadah atas konsep budaya lokal etnis Banjar. Konsep-konsep dari sistem sapaan, mata pencaharian, kesenian (nyanyian, alat musik, tari-tarian, dan ukiran), bagunan adat, senjata, dan pakaian etnis Banjar, dilambangkan dengan bahasa Banjar. Contoh, konsep ‘orang tua kandung perempuan’ dilambangkan dengan kata mama, konsep ‘menangkap ikan dengan kail’ dilambangkan dengan kata maunjun, dan konsep ‘bilah besi panjang untuk berperang’ dilambangkan dengan kata mandau. Kata-kata seperti mama, maunjun, dan mandau adalah kata-kata bahasa Banjar yang menjadi wadah budaya etnis Banjar.

Dewasa ini sangat banyak pengaruh luar yang memengaruhi penggunaan bahasa Banjar. Televisi merupakan media utama masuknya pengaruh luar tersebut. Begitu banyak tayangan sinetron di televisi swasta yang menonjolkan bahasa Indonesia dialek Betawi atau yang sering disebut dengan bahasa Gaul (bukan bahasa Indonesia Baku) atau bahasa Prokem dan beberapa kata bahasa Inggris. Penggunaan bahasa prokem ini seringkali ditiru oleh anak-anak muda etnis Banjar. Sebagian mereka merasa tidak gaul, jika tidak menggunakan bahasa prokem atau beberapa kata bahasa Inggris. Bahasa Banjar bagi sebagian mereka sudah kuno. Bahkan, ada yang berangggapan bahasa Banjar bersifat tradisional. Predikat tradisional ini yang menyebabkan sebagian mereka merasa minder atau tidak percaya diri menggunakan bahasa Banjar. Media-media cetak juga berperan dalam memengaruhi anak-anak muda etnis Banjar dalam penggunaan bahasa Banjar. Banyak iklan yang menggunakan bahasa Gaul dan beberapa kata bahasa Inggris. Bahasa iklan biasanya ditiru oleh sebagian mereka.

Selain itu, pengaruh luar juga didapatkan sebagian anak-anak muda etnis Banjar yang menuntut ilmu di pulau Jawa atau pulau lainnya di luar pulau Kalimantan. Sebagian mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia gaul sebagai bukti bahwa mereka punya pengalaman hidup di luar pulau Kalimantan atau beberapa kata bahasa Inggris sebagai bukti mereka terpelajar.

Dengan mengamati perkembangan pemakaian bahasa Banjar dewasa ini kita dapat mengatakan perlu adanya pembinaan dan pengembangan bahasa Banjar bagi generasi penerus etnis Banjar. Artinya, sebagian generasi penerus bahasa Banjar dewasa ini kurang memiliki sikap positif terhadap penggunaan bahasa Banjar. Di sekolah wajib ditingkatkan pembelajaran dalam mata pelajaran bahasa banjar sebagai salah satu usaha agar bahasa Banjar tetap eksis dalam masayarakat di Kalimantan Selatan. Mamanda dapat menjadi salah satu topik bahasan dalam pembelajaran mata pelajaran bahasa Banjar. Anak-anak dapat diajak mementaskan mamanda di depan kelas dengan menggunakan bahasa Banjar. Anak-anak juga dapat diajak oleh para guru menyaksikan pementasan mamanda di luar sekolah.

Generasi penerus harus dibekali pengetahuan tentang pentingnya bahasa Banjar. Anak-anak jangan terlalu dibiasakan menggunakan kata-kata di luar bahasa Banjar, seperti penggunaan kata sapaan papa, ohm, dan tante. Kita ambil saja sampel kecil dalam penggunaan kata sapaan di atas, kata papa, ohm, dan tante bukanlah kata-kata dalam bahasa Banjar. Seharusnya kata papa tidak dipakai, kata abah yang dipakai; kata ohm seharusnya tidak dipakai, kata amang yang dipakai; dan kata tante juga tidak dipakai, kata acil yang seharusnya dipakai.

Sebagai orang etnis Banjar, memelihara bahasa Banjar merupakan tanggung jawab yang tidak dapat kita elakkan. Melalui tulisan ini penulis mengajak pembaca, siapa pun dan di mana pun untuk menghargai, mencintai, dan melestarikan bahasa Banjar. Eksistensi bahasa Banjar dapat mempertahankan budaya etnis Banjar. Selama ada bahasa Banjar, budaya Banjar pun akan tetap ada. Bahasa Banjar akan tetap ada jika ada kita yang menggunakannnya dalam kompleksitas kehidupan kita sehari-hari dengan memperhatikan situasi dan kondisi kebahasaan.

3. Mamanda dan Pementasannya

Istilah mamanda pada teater mamanda di Provinsi Kalimantan Selatan ditengarai berasal dari kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar, yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki dari ayah atau ibu. Kata ini derekatkan dengan morfem -nda sebagai sebuah sugesti kekerabatan atau keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini, sehingga terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahanda yang mengisyarakatkan keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. (Jarkasi, 2002:20). Sapaan pamanda dalam dialog antara mangkubumi kepada wajir saat cerita mamanda dipentaskan akhirnya sangat dikenal dikalangan masyarakat Banjar. Karena itu pulalah setiap pementasan teater ini selalu dikenal masyarakat Banjar dengan nama bamanda atau mamanda. Masyarakat Banjar tidak menyebut teater ini pamanda karena kata tersebut lebih merujuk pada kata sapaan saja sehingga tidak cocok untuk nama sebuah bentuk seni pementasan. Lama-kelamaan masyarakat Banjar hanya menyebutnya dengan mamanda dan bukan bamanda karena afiks ba- dalam kata bamanda lebih merujuk pada kata kerja.

Sejak dahulu hingga sekarang bahasa yang sering sekali dipakai dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar. Memang ada juga mamanda yang dipentaskan di televisi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ceritanya menjadi kaku. Hal ini karena bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya Banjar sehingga pemakaian bahasa Indonesia dalam mamanda kurang dapat memunculkan nuansa budaya dan nilai rasa budaya Banjar. Kekakuan itu juga disebabkan oleh para pemeran lakon dalam mamanda yang terbiasa menggunakan bahasa Banjar menjadi kurang lancar dalam berimprovisasi jika menggunakan bahasa Indonesia, meskipun para pemerannya menguasai bahasa Indonesia.

Di samping itu pengunaan bahasa Indonesia dalam pementasan mamanda kurang dapat melestarikan pemakaian bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa hubungan antara sastra dan bahasa tertentu sangatlah erat dan hubungan keduanya dapat kita katakan sebagai simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan). Hal ini berlaku juga dengan hubungan mamanda dan bahasa Banjar. untuk lebih jelasnya perhatikan penjelasan saya berikut ini.

Dalam kaitannya dengan mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur penting yang digunakan pemeran mamanda untuk berkomunikasi dengan dirinya atau pemeran lainnya. Dengan kata lain, pementasan mamanda memerlukan bahasa Banjar. Di sisi lain dalam mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur yang langsung disentuh masyarakat penonton. Kita sebagai masyarakat penonton langsung mendengarkan bahasa Banjar dalam pementasan mamanda. Jika bahasa Banjar adalah bahasa yang digunakan para pemeran pementasan mamanda, berarti dengan mendengarkan bahasa Banjar dalam pementasan tersebut masyarakat penonton pun menggunakan bahasa Banjar secara reseptif. Dengan demikian, bahasa Banjar yang digunakan para pemeran dan masyarakat penonton dalam pementasan mamanda akan bertambah lestari. Dengan kata lain kehidupan bahasa Banjar akan bertambah lestari dengan adanya pementasan mamanda. Jadi, mamanda dan bahasa Banjar saling memerlukan dan hubungan keduanya saling menguntungkan.

Dewasa ini, pementasan mamanda mulai jarang digelar dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan terutama di kota Banjarmasin. Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan lebih sering disuguhi tontonan lain. Tontonan lain tersebut antara lain, sinetron, acara dangdut, dan konser musik. Tontonan-tontonan lain ini menjadi penyebab mamanda jarang dipentaskan di hadapan masyarakat Banjar. Sinetron berbahasa Gaul dewasa ini sangat sering ditayangkan di televisi suwasta. Dahulu sinetron hanya ditayangkan satu kali dalam seminggu, misalnya hanya setiap hari Sabtu malam. Kini, setiap hari ada tayangan sinetron berbahasa Gaul di televisi. Penayangan sinetron berbahasa Gaul ini selain dapat menyebabkan masyarakat Banjar menggunakan bahasa gaul, juga dapat menyurutkan minat masyarakat Banjar untuk menonton cerita mamanda dipentaskan di televisi lokal maupun dipentaskan di gedung kesenian. Karena itulah, pada saat ini jarang sekali dalam acara pesta perkawinan ada ditampilkan pementasan mamanda.

Sebagian besar masyarakat Banjar modern juga lebih menyenangi acara dangdut di masyarakat. Jika ada acara dangdut, sebagian besar masyarakat Banjar terutama para pemuda Banjar sangat antusias ikut bergoyang hingga acara dangdut tersebut selesai. Bukan hanya itu, jika dahulu mamanda ikut memeriahkan pesta perkawainan, kini mamanda sudah digantikan dengan musik dangdut. Hampir di semua tempat pesta perkawainan di Kalimantan Selatan ada musik dangdut yang diperdengarkan kepada para undangan. Konser musik pop dan rock juga semakin sering ditampilkan di hadapan masyarakat Banjar secara langsung. Band-band terkenal di Indonesia sering menampilkan aksi mereka di hadapan masyarakat Banjar. Sebaliknya, mamanda semakin hari semakin jarang dipentaskan di hadapan masayarakat Banjar.

4. Hal-Hal yang Perlu Dilakukan

Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa Gaul dan bahasa Inggris yang digunakan oleh sebagian masyarakat Banjar modern, perlu adanya tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Banjar yang merupakan pemerkaya bahasa Indonesia dan pemerkaya bangsa Indonesia. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan memperbanyak tontonan berbahasa Banjar di masyarakat. Mamanda merupakan salah satu tontonan berbahasa Banjar. Pementasan mamanda di masyarakat dapat menjadi cara efektif untuk membendung pengaruh luar yang berdampak negatif terhadap pemakaian bahasa Banjar oleh masyarakat Banjar sendiri. Berkaitan dengan pementasan mamanda tersebut, ada hal-hal yang perlu dilakukan.

Pertama, mamanda harus sering dipentaskan di hadapan masyarakat. Pementasan mamanda ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung di gedung atau di lapangan terbuka dan cara tidak langsung di televisi berupa tayangan rekaman. Hal ini pelu dilakukan karena dengan semakin seringnya mamanda dipentaskan di hadapan masyarakat Banjar, bahasa Banjar akan semakin lestari di Provinsi Kalimantan Selatan.

Kedua, anak-anak harus diberikan pengetahuan tentang pentingnya melestarikan bahasa Banjar sebagai pemerkaya bahasa dan pemerkaya bangsa Indonesia. Para orang tua dan para guru harus sedapat mungkin mengajak anak untuk berbahasa Banjar dalam situasi kebahasaan yang tidak resmi secara nasional atau resmi secara adat. Bahasa lain juga penting, akan tetapi pemakaian bahasa Banjar juga jangan dilupakan oleh generasi penerus masyarakat Banjar.

Ketiga, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan harus tanggap terhadap masalah pergesaran yang terjadi di daerah tempat mereka bekerja. Pemerintah setempat harus sungguh-sungguh secara rutin mendukung pementasan mamanda dalam hal dana karena pementasan tersebut memerlukan dana yang jumlahnya tidak sedikit.


5. Penutup

Mamanda merupakan salah satu sastra daerah di Indonesia yang berasal dari Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam pementasan sastra daerah yang berupa teater tradisional ini, para tokohnya menggunakan bahasa Banjar. Jika bahasa lain yang digunakan dalam pementasannya, cerita mamanda akan menjadi kurang hidup. Hal ini karena bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya Banjar sehingga pemakaian bahasa lain dalam mamanda kurang dapat memunculkan nuansa budaya dan nilai rasa budaya Banjar. Dengan kenyataan seperti itu, mamanda dapat digunakan untuk melestarikan bahasa Banjar sehingga bahasa Banjar tetap eksis dari masa ke masa.

Mamanda haruslah selalu dipentaskan dalam rangka membiasakan masyarakat Banjar bertutur dengan menggunakan bahasa Banjar. Jangan sampai generasi penerus masyarakat Banjar selalu dipengaruhi sinetron yang para pelakunya menggunakan bahasa Gaul atau iklan-iklan yang mengunakan bahasa Inggris! Para orang tua, guru, dan semua pihak harus sedapat mugkin memberikan pemahaman kepada anak-anak untuk mengunakan bahasa Banjar dan tidak mencampur bahasa Banjar dengan bahasa Gaul atau bahasa Inggris.

Daftar Buku Bacaan

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Arifin, E. Zainal. 1989. Penulisan Karangan Ilmiah dengan Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Rineka Cipta.

Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 2002. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

----------------. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Hapip, Abdul Djebar.1997. Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Banjarmasin: Grafika Wangi.

Jarkasi. 2002. Mamanda: dari Realitas Tradisional ke Kesenian Populer Seni Pertunjukan Banjar. Banjarmasin: Grafika Wangi.

Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Musaba, Zulkifli. 1994. Terampil Menulis dalam Bahasa Indonesia yang Benar. Surabaya: Sarjana Indonesia.

Panitia Pengembanagan Bahasa Indonesia. 1999. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Parera, Jos Daniel. 1993. Sintaksis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan, M. 2001. Sintaksis. Yogyakarta: Karyono.

Sami, M. Atar. 1990. Menulis Efektif. Padang: Angkasa.

Sugono, Dendy. Dkk. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa.

Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun. 2007. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.